Sobat indonesia... sore ini saya akan menuliskan artikel menegani belajar dan pembelajaran matematika. Mahasiswa saya sering salah menafsirkan belajar dengan pemebelajaran serta sebaliknnya. sesungguhnya kedua hal tersebuyt secara prinsip berbeda. Untuk memperjelasnya saya coba muat postingan berikut mengenai hal tersebut. Mari kita mulai...
Bismillahir rohmaanir rohiim...
Pendekatan Pembelajaran Matematika
Suherman (1993:220) mengemukakan pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus. Suherman (1993:221) menyatakan pula bahwa pendekatan pembelajaran merupakan suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu Soedjadi (1991:102), membedakan pendekatan pembelajaran matematika menjadi dua, sebagai berikut.
1) Pendekatan materi (material approach), yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain.
2) Pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya
Steen (2001:305) menyatakan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya berlandaskan pada teori pembelajaran perilaku, tetapi menekankan pada pembentukan keterampilan mendapatkan pengetahuan sendiri. Sejalan dengan itu, Hudoyo (1994:5) menyatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya diarahkan untuk membantu anak didik untuk berpikir, karena matematika memungkinkan penyelesaian masalah dengan benar dan benarnya penyelesaian karena penalarannya memang sangat jelas.
Menurut Steen (2001:307), belajar matematika pada hakikatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja. Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti. Steen (2001:307), juga mengemukakan bahwa hendaknya mahasiswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja. Mahasiswa harus belajar matematika secara bermakna, yakni suatu cara belajar yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan.
Mengingat bahwa mahasiswa dan dosen keduanya merupakan subyek dalam pembelajaran, maka dalam pembelajaran matematika, dosen hendaknya memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang dapat melibatkan mahasiswa secara aktif. Mahasiswa tidak hanya dituntut aktif dalam mengerjakan soal, tetapi juga perlu mementingkan penalaran mahasiswa dalam proses terbentuknya suatu konsep, sehingga akan memudahkan bagi penerapan konsep tersebut. Atau dengan kata lain hendaknya dosen dapat mengajar secara bermakna. Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) adalah suatu cara mengajar yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghapalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran mahasiswa.
Dengan demikian pembelajaran matematika ditekankan untuk membangun makna atau pemahaman. Hal ini berarti bahwa makna atau pemahaman diperoleh dengan membangun tidak sekedar menerima saja. Pemilihan pembelajaran penemuan terbimbing dianggap tepat karena dalam penemuan terbimbing makna atau pemahaman dibangun oleh mahasiswa dengan bimbingan dosen.
Belajar
Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar manusia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Winkel (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Sartain (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan bahwa belajar didefinisikan sebagai suatu perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman. Perubahan tersebut antara lain ialah cara merespon suatu sinyal, cara menguasai suatu keterampilan dan mengembangkan sikap terhadap suatu objek.
Winkel (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan bahwa belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Belajar akan mengubah perilaku mental siswa yang belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2002:5). Agar belajar dapat berkualitas dengan baik, perubahan itu harus dilahirkan oleh pengalaman dan oleh interaksi antara orang dengan lingkungannya.
Beberapa teori tentang belajar dijelaskan sebagai berikut.
a. Teori Ausubel
Belajar dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, menurut Ausubel (dalam Dahar, 1996:23). Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada peserta didik, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada. Pada tingkat pertama, belajar penerimaan (reception learning) menyangkut materi dalam bentuk final, sedangkan belajar penemuan (discovery learning) yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang dipelajari. Pada tingkat kedua, peserta didik menghubungkan atau mengkaitkan informasi tersebut pada konsep-konsep dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini "belajar bermakna (meaningful learning)". Tetapi peserta didik mungkin saja tidak mengkaitkan informasi tersebut pada konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitifnya; peserta didik hanya terbatas menghafal informasi baru tersebut; dalam hal ini terjadi "belajar hafalan (rote learning)". Pada pembelajaran matematika di perguruan tinggi, karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual yang berfungsi sebagai motivasi awal "starting point" dalam pembelajaran. Dosen meminta kepada mahasiswa untuk menggunakan strategi atau cara mereka sendiri dalam memecahkan masalah. Untuk keperluan tersebut mahasiswa harus mampu menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan permasalahan yang dihadapi. Bila pengetahuan atau konsep yang dimiliki mahasiswa belum dapat digunakan dalam memecahkan masalah, maka dosen perlu membimbing mahasiswa (bersifat terbatas) dalam menemukan konsep tersebut. Dengan demikian mahasiwa akan mampu menyelesaikan masalah kontekstual yang diajukan kepadanya apabila ia memiliki cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran bernuansa problem based learning telah sesuai dengan teori belajar Ausubel yaitu mengedepankan pemecahan masalah dalam pembelajaran di kelas dan tetap mengutamakan pembelajaran bermakna.
b. Teori Piaget
Teori belajar kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Menurut Piaget (dalam Dahar, 1996:27), perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yakni, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Adaptasi merupakan organisasi yang cenderung untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada (Suparno, 1997:31). Asimilasi tidak menyebabkan perubahan atau pergantian skema, melainkan memperkembangkan skema. Bila dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai, karena pengalaman yang baru itu tidak cocok dengan skema yang sudah ada, maka orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru itu atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a) Memusatkan perhatian pada proses berpikir mahasiswa, bukan sekedar pada hasilnya.
b) Menekankan pada pentingnya peran mahasiswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran.
c) Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Sehingga dosen harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu atau kelompok-kelompok kecil.
Berdasarkan penjelasan di atas maka model pembelajaran bernuansa problem based learning sesuai dengan kondisi dari teori Piaget bahwa peran mahasiswa dalam kelas serta keaktifan mahasiswa adalah salah satu bagian yang dilakukan dalam model pembelajaran bernuansa problem based learning.
c. Teori Vygotsky
Ada empat pinsip kunci dari teori Vygotsky (dalam Dahar, 1996:15), yaitu: (1) penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran (the sociocultural nature of learning), (2) zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), (3) pemagangan kognitif (cognitive apprenticenship), dan (4) perancah (scaffolding). Pada prinsip pertama, Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain (orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu) dalam proses pembelajaran. Prinsip kedua dari Vygotsky adalah ide bahwa peserta didik belajar paling baik apabila berada dalam zona perkembangan terdekat mereka, yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan anak saat ini. Prinsip ketiga dari teori Vygotsky adalah menekankan pada kedua-duanya, hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan. Mahasiswa dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan dari teman sebaya atau pakar. Prinsip keempat, Vygotsky memunculkan konsep scaffolding, yaitu memberikan sejumlah besar bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, dan kemudian mengurangi bantuan tersebut untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa bimbingan atau petunjuk, peringatan, dorongan,ataupun yang lainnya.
Dengan demikian, keterkaitan antara pendekatan teori Vygotsky ini adalah interaksi sosial dan hakikat sosial bahwa mahasiswa diperkenankan melakukan pekerjaan dengan berkelompok kecil serta merangsang mahasiswa untuk aktif bertanya dan berdiskusi.
d. Teori Bruner
Bruner (dalam Dahar, 1996:45) menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut adalah proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni: (1) Tahap enaktif. Dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek secara langsung. (2) Tahap ikonik, Tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung obyek-obyek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek. (3) Tahap simbolik. Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan obyek-obyek.
Berdasarkan teori Bruner, pada awal pembelajaran sangat dimungkinkan mahasiswa memanipulasi obyek-obyek yang ada kaitannya dengan masalah yang diberikan dosen secara langsung. Kemudian pada prosesnya mahasiswa memanipulasi simbol-simbol. Dengan demikian, keterkaitan teori Bruner dengan model pembelajaran benuansa problem based learning adalah mahasiswa belajar dengan menggunakan obyek konkrit atau gambar dari obyek konkrit, kemudian mahasiswa secara aktif membangun pengetahuannya melalui kegiatan yang memungkinkan ia memanipulasi obyek-obyek konkrit, gambar obyek, dan simbol-simbol.
1) Pendekatan materi (material approach), yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain.
2) Pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya
Steen (2001:305) menyatakan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya berlandaskan pada teori pembelajaran perilaku, tetapi menekankan pada pembentukan keterampilan mendapatkan pengetahuan sendiri. Sejalan dengan itu, Hudoyo (1994:5) menyatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya diarahkan untuk membantu anak didik untuk berpikir, karena matematika memungkinkan penyelesaian masalah dengan benar dan benarnya penyelesaian karena penalarannya memang sangat jelas.
Menurut Steen (2001:307), belajar matematika pada hakikatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja. Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti. Steen (2001:307), juga mengemukakan bahwa hendaknya mahasiswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja. Mahasiswa harus belajar matematika secara bermakna, yakni suatu cara belajar yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan.
Mengingat bahwa mahasiswa dan dosen keduanya merupakan subyek dalam pembelajaran, maka dalam pembelajaran matematika, dosen hendaknya memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang dapat melibatkan mahasiswa secara aktif. Mahasiswa tidak hanya dituntut aktif dalam mengerjakan soal, tetapi juga perlu mementingkan penalaran mahasiswa dalam proses terbentuknya suatu konsep, sehingga akan memudahkan bagi penerapan konsep tersebut. Atau dengan kata lain hendaknya dosen dapat mengajar secara bermakna. Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) adalah suatu cara mengajar yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghapalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran mahasiswa.
Dengan demikian pembelajaran matematika ditekankan untuk membangun makna atau pemahaman. Hal ini berarti bahwa makna atau pemahaman diperoleh dengan membangun tidak sekedar menerima saja. Pemilihan pembelajaran penemuan terbimbing dianggap tepat karena dalam penemuan terbimbing makna atau pemahaman dibangun oleh mahasiswa dengan bimbingan dosen.
Belajar
Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar manusia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Winkel (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Sartain (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan bahwa belajar didefinisikan sebagai suatu perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman. Perubahan tersebut antara lain ialah cara merespon suatu sinyal, cara menguasai suatu keterampilan dan mengembangkan sikap terhadap suatu objek.
Winkel (dalam Darsono, 2000:4) menyatakan bahwa belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Belajar akan mengubah perilaku mental siswa yang belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2002:5). Agar belajar dapat berkualitas dengan baik, perubahan itu harus dilahirkan oleh pengalaman dan oleh interaksi antara orang dengan lingkungannya.
Beberapa teori tentang belajar dijelaskan sebagai berikut.
a. Teori Ausubel
Belajar dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, menurut Ausubel (dalam Dahar, 1996:23). Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada peserta didik, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada. Pada tingkat pertama, belajar penerimaan (reception learning) menyangkut materi dalam bentuk final, sedangkan belajar penemuan (discovery learning) yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang dipelajari. Pada tingkat kedua, peserta didik menghubungkan atau mengkaitkan informasi tersebut pada konsep-konsep dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini "belajar bermakna (meaningful learning)". Tetapi peserta didik mungkin saja tidak mengkaitkan informasi tersebut pada konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitifnya; peserta didik hanya terbatas menghafal informasi baru tersebut; dalam hal ini terjadi "belajar hafalan (rote learning)". Pada pembelajaran matematika di perguruan tinggi, karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual yang berfungsi sebagai motivasi awal "starting point" dalam pembelajaran. Dosen meminta kepada mahasiswa untuk menggunakan strategi atau cara mereka sendiri dalam memecahkan masalah. Untuk keperluan tersebut mahasiswa harus mampu menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan permasalahan yang dihadapi. Bila pengetahuan atau konsep yang dimiliki mahasiswa belum dapat digunakan dalam memecahkan masalah, maka dosen perlu membimbing mahasiswa (bersifat terbatas) dalam menemukan konsep tersebut. Dengan demikian mahasiwa akan mampu menyelesaikan masalah kontekstual yang diajukan kepadanya apabila ia memiliki cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran bernuansa problem based learning telah sesuai dengan teori belajar Ausubel yaitu mengedepankan pemecahan masalah dalam pembelajaran di kelas dan tetap mengutamakan pembelajaran bermakna.
b. Teori Piaget
Teori belajar kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Menurut Piaget (dalam Dahar, 1996:27), perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yakni, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Adaptasi merupakan organisasi yang cenderung untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada (Suparno, 1997:31). Asimilasi tidak menyebabkan perubahan atau pergantian skema, melainkan memperkembangkan skema. Bila dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai, karena pengalaman yang baru itu tidak cocok dengan skema yang sudah ada, maka orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru itu atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a) Memusatkan perhatian pada proses berpikir mahasiswa, bukan sekedar pada hasilnya.
b) Menekankan pada pentingnya peran mahasiswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran.
c) Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Sehingga dosen harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu atau kelompok-kelompok kecil.
Berdasarkan penjelasan di atas maka model pembelajaran bernuansa problem based learning sesuai dengan kondisi dari teori Piaget bahwa peran mahasiswa dalam kelas serta keaktifan mahasiswa adalah salah satu bagian yang dilakukan dalam model pembelajaran bernuansa problem based learning.
c. Teori Vygotsky
Ada empat pinsip kunci dari teori Vygotsky (dalam Dahar, 1996:15), yaitu: (1) penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran (the sociocultural nature of learning), (2) zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), (3) pemagangan kognitif (cognitive apprenticenship), dan (4) perancah (scaffolding). Pada prinsip pertama, Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain (orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu) dalam proses pembelajaran. Prinsip kedua dari Vygotsky adalah ide bahwa peserta didik belajar paling baik apabila berada dalam zona perkembangan terdekat mereka, yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan anak saat ini. Prinsip ketiga dari teori Vygotsky adalah menekankan pada kedua-duanya, hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan. Mahasiswa dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan dari teman sebaya atau pakar. Prinsip keempat, Vygotsky memunculkan konsep scaffolding, yaitu memberikan sejumlah besar bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, dan kemudian mengurangi bantuan tersebut untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa bimbingan atau petunjuk, peringatan, dorongan,ataupun yang lainnya.
Dengan demikian, keterkaitan antara pendekatan teori Vygotsky ini adalah interaksi sosial dan hakikat sosial bahwa mahasiswa diperkenankan melakukan pekerjaan dengan berkelompok kecil serta merangsang mahasiswa untuk aktif bertanya dan berdiskusi.
d. Teori Bruner
Bruner (dalam Dahar, 1996:45) menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut adalah proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni: (1) Tahap enaktif. Dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek secara langsung. (2) Tahap ikonik, Tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung obyek-obyek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek. (3) Tahap simbolik. Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan obyek-obyek.
Berdasarkan teori Bruner, pada awal pembelajaran sangat dimungkinkan mahasiswa memanipulasi obyek-obyek yang ada kaitannya dengan masalah yang diberikan dosen secara langsung. Kemudian pada prosesnya mahasiswa memanipulasi simbol-simbol. Dengan demikian, keterkaitan teori Bruner dengan model pembelajaran benuansa problem based learning adalah mahasiswa belajar dengan menggunakan obyek konkrit atau gambar dari obyek konkrit, kemudian mahasiswa secara aktif membangun pengetahuannya melalui kegiatan yang memungkinkan ia memanipulasi obyek-obyek konkrit, gambar obyek, dan simbol-simbol.
Ok sobat sementara ini, semoga memunculkan pemahaman.
Sampai jumpa...
No comments:
Post a Comment